07 Januari 2008

Teater

Teater yang Gagap Menilai Tanda



Bicara tentang teater Indonesia adalah gumaman dengan segumpal emosi kemarahan, kesedihan, keputusasaan, ketidakpedulian. Tetapi juga kepingan harapan dan impian yang coba untuk terus disusun dengan tangan yang gemetar dan napas tersengal.
Teater masih tumbuh pada wilayah-wilayah lokal yang sempit di antara para individu yang saling kenal, semacam arisan ibu-ibu kampung yang bergilir dari rumah yang satu ke rumah lainya.
Ketika dia berkeinginan untuk beranjangsana ke daerah yang baru, ke rumah salah seorang sahabat yang di kenal di luar kampung, maka yang muncul kemudian adalah kecemburuan, kesinisan, penelanjangan tubuh untuk mencari kotoran yang terselip di antara lipatan tubuh yang tersembunyi, lalu berseru dengan puas, ”Apa ini?”
Selama rentang 365 hari yang masih terngiang, ternyata kita masih harus meraba-raba, apa yang sebenarnya sudah terjadi dalam ranah teater itu. Memang ada letupan-letupan kecil, igauan atau suara-suara, tapi itu hanya peristiwa yang muncul sesaat-sesaat, yang hanya terdengar dalam lingkaran area kecil; dan berlalu sunyi. Kemudian berganti dengan segala peristiwa keseharian yang ternyata lebih mengoyak kesadaran kerja otak dan rimbunan emosi perasaan kita. Kisah tentang pemboman; pemerkosaan atau kehidupan politik di negeri ini, misalnya; ternyata lebih memiliki kekuatan dramaturgi dengan adegan-adegan yang sangat teaterikal. Sungguh sangat menyentuh.
Teater hanya mampu merasa sedih dan gundah karena hampir semua pranata dalam dirinya telah dicuri dan dimanfaatkan pihak lain. Teater kehilangan cerita, kehilangan plot, gagap menilai tanda. Teater sudah kalah posisi. Merasa termarjinalkan. Tidak lebih dari sekadar hiburan untuk kalangan sendiri.
Hal itu mengakibatkan kian parahnya keputusasaan yang telah lama menjangkiti teater. Untuk mengimbangi dominasi kisah-kisah itu, teater lalu berjibaku dengan centang-perenang kondisi tubuhnya.
Ada nafsu untuk tetap dianggap masih terlibat dengan permasalahan di luar dirinya. Sebuah semangat yang membabi buta, tidak jelas mau bicara apa. Teater menjadi gerakan yang demonstratif, bak pahlawan Don Quixote. Ada ketidakpedulian pada proporsi dirinya sendiri. Yang penting ”wah”.
Di sini permasalahan jadi lain, bukan pada hasil presentasi teater sebagai wacana seperti yang seharusnya, tapi justru hanya pada apa-apa yang menggerogoti tubuh teater. Sepertinya ini sesuatu yang mengada-ada dan terkesan dramatis, tapi itulah yang terjadi. Mengapa kemudian teater dianggap selalu penuh dengan masalah yang bertahun-tahun tak terselesaikan.

***

Teater tidak harus melulu sesuatu yang kontekstual, atau bahkan reaksioner. Tetapi juga sebuah hasil penjarakan dari yang ada. Sebuah hasil penilaian—meski bukan suatu yang niscaya—yang membuat penontonnya merasa selalu terusik kesadarannya. Sebuah mimpi yang terus mengganggu.
Teater bukanlah media koran atau televisi yang mempunyai sifat untuk terus memperbarui setiap peristiwa yang diberitakan. Sebab kalau seperti itu, apa pentingnya teater? Dia cuma corong yang menyediakan dirinya untuk ditiup oleh siapa saja yang ingin meniupnya. Analogi yang tepat, mungkin: Teater adalah sebuah jurnal.
Sebuah terbitan jurnal tidak harus memuat sesuatu yang masih hangat dan kontekstual, tapi lebih pada sesuatu yang dapat menjadi wacana dengan sebuah gagasan. Sebuah tema yang sederhana dan remeh-temeh, bisa menjadi besar dan menarik karena ada gagasan di dalamnya. Di situlah posisi teater.
Memperlihatkan sesuatu yang luput dari penglihatan. Sehingga, hanya untuk menunjukkan rasa keterlibatan dirinya pada setiap permasalahan, teater tidak harus bicara seperti tentang pembunuhan massal, tentang korupsi atau tentang terorisme, misalkan. Teater harus membebaskan dirinya dari segala kepentingan dari pihak mana pun di luar kepentingan dirinya sendiri.

***

Teater sebagai sebuah seni pertunjukan, memang sangat diminati. Apalagi dalau di dalamnya diselipkan seorang public figure, dia dapat menarik sponsor dan laku dijual. Sesuatu yang jamak di dunia hiburan.
Tapi teater bukan sekadar seni pertunjukan—itu hanya bagian dari wajah teater. Pada sisi yang lain, dia adalah sebuah proses yang terus bergerak maju untuk suatu perubahan, sebagai hasil kerja berpikir dan merasa.
Ketika peristiwa-peristiwa begitu meneror keseharian kita, menciptakan sekat dalam melihat dan menilai, ada wilayah yang tanpa sadar kita tinggalkan. Sebuah ruang yang menyediakan dirinya untuk tempat bertemu dan berinteraksi antara imaji-imaji purba kita dengan sari-pati dari setiap peristiwa.
Saling bersimbiosis membentuk suatu pengertian dengan daya ungkap dan bahasa yang baru. Sebuah pemahaman estetik dari realita. Dari sini kesenian(baca: teater) berakar. Bila seperti itu, tentunya ada yang tersisa setelah pertunjukan usai; ketika lampu sudah dimatikan; sesudah sutradara dan pemain menikmati ”orgasme” di panggung. Apa yang akan dibawa pulang oleh penontonnya? Kita tahu, ini permasalahan yang sebenarnya dari teater. Yang membelenggu kedirian teater.
Sampai saat ini, teater Indonesia masih takut dengan perubahan yang mungkin pada dirinya sendiri. Tidak yakin dan gamang, sehingga harus bertahan dengan posisi yang sudah dimiliki. Maka yang terjadi hanyalah pengulangan-pengulangan bentuk agar dirinya tidak dianggap mati. Padahal, justru ketika dia sudah merasa mapan; tidak berani untuk selalu me-radikal-i dirinya sendiri; statis, saat itulah dia sudah mati. Bukan lagi teater dalam artinya yang utuh. Hanya sekadar teater sebagai seni pertunjukan yang menghibur, atau menjelma seni tradisi. Itu pun kalau berhasil. Tidak lebih.
Pintu 2002 sudah ditutup. Sisa-sisa makanan dan kotoran mulai dikumpulkan ke dalam bak sampah. Yang tertinggal hanya bau yang menggantung di udara, suara-suara yang kian sayup di balik pintu. Juga, sedikit kesan dan rasa yang terlanjur menggayut di kalbu. Dan teater, adalah sebuah organisme yang hidup. Dia dapat bergerak ke mana saja sesuai keinginan dirinya. Yang selalu ingin mencoba memasuki wilayah dan bahasa yang baru. Teater tidak pernah diam dengan dirinya sendiri. Dia bisa merayap, kadang melompat-lompat. Sesekali terbang menuju lembah, lalu berenang sampai ke dasar palung: Menyampaikan mimpinya sendiri.


Penulis adalah pekerja teater.

0 komentar:

Design Dheedy_AS Dzelque Blogger Templates 2007-2008