27 Mei 2008

serangan fajar

Malam ini Ramadhan ke 20….. pukul 24.00 dini hari. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan bunyi yang tidak biasa. Pukulan tiang listrik yang biasanya dipukul untuk menunjukkan waktu saat itu, kini bunyinya lebih banyak dan nyaring, saling bersahutan, bukan 12 kali, bukan pula 24 kali tapi 50….100… bahkan sampai tak terhitung…..bunyi itu kemudian dibalas dengan rentetan bunyi tembakan senjata api dan sesekali dentuman bom yang menggetarkan tanah dan rumah-rumah.
Tok…tok…tok…jendela kamar kami diketok ….” Bu, ayo lari….kita diserang…” kata suara dari luar dengan agak berbisik memanggil ibuku.
Ibuku kemudian membuka pintu depan rumah kami dan melihat siapa yang memanggilnya dari luar. Ternyata yang memanggilnya adalah seorang nenek tetangga kami yang biasa kami panggil dengan sebutan nenek Ical (nama salah satu cucunya).
Ayahku bergegas ke belakang mengambil Kalewa yang panjangnya sekitar satu meter yang telah diasahnya sampai tajam dan mengkilap. Sedangkan ibuku dibantu nenek ical membungkus adikku yang baru berumur dua bulan dengan sarung, diikatnya sehelai kain di tubuhnya kemudian adik dipeluknya dan diikatnya lagi dengan kain sehingga tidak terlepas dari pelukkannya. Aku menggendong adik lelakiku yang baru berumur 4 tahun dan kakak perempuanku menggendong adik perempuanku yang baru berumur 6 tahun.
Kami berlari menyisir tepi jalan raya sambil melirik ke kiri, ke kanan dan ke belakang sambil waspada kalau-kalau ada peluru yang ditembakkan kearah kami. Kami berjalan dan terus berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Ayahku berada di depan sebagai penunjuk jalan. Kadang kami harus menyusup di samping rumah orang sambil berjalan perlahan-lahan bagai seorang pencuri profesional yang sedang mencari waktu yang tepat untuk masuk ke rumah sasaran pencurian tanpa membangunkan sang korban. Kadang kami berlari secepat mungkin menyeberangi jalan raya karena takut terkena tembakan dari yang berasal dari arah timur. Kami berjalan dan terus berjalan dengan menahan rasa perih dikaki ini karena pada saat itu kami berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Siapa yang peduli dengan sepasang alas kaki pada situasi seperti ini? Bahkan ijazah SDku, dan surat-surat penting lainnya tak sempat terpikirkan karena nyawa ini harus diselamatkan.



Alam saat itu begitu gelap, tak tampak satu bintang pun di langit sana. Listrik dari PLN dipadamkan menjadikan suasana kota ini semakin mencekam. Rentetan bunyi tembakan tetap bersahutan. Kadang aku melihat kilatan-kilatan merah yang sangat cepat melayang ke angkasa. Sesekali bunyi bom bagai memecah gendang telinga dan sahut-sahutan bunyi tiang listrik masih menghiasi malam ini.
Perjalanan kami berhenti disebuah rumah yang berada di tengah-tengah kampung kami, dan ayahku memutuskan agar malam ini kami menginap disini. Kami masuk rumah itu yang merupakan rumah dari kakak perempuan ayah. Aku kaget, karena ternyata di dalam rumah itu, telah berkumpul begitu banyak warga dengan tujuan yang sama seperti kami “MENGUNGSI”. Semuanya sedang duduk, ada yang menangis, ada sedang ketakutan sambil memeluk lututnya, ada yang diam, ada yang sedang mengurusi anaknya dan masih banyak aktivitas lain yang kesemuaannya dilakukan dalam keadaan duduk. Kami bahkan hampir tak dapat tempat untuk duduk,untungnya tanteku (tuan rumah) memindahkan tempat TV sehingga kami mengambil bekas tempat TV itu sebagai tempat istirahat kami.
Malam itu, tak ada yang bisa tidur, kalaupun ada mereka hanya memejamkan matanya sebentar kemudian terbangun lagi. Siapa yang bias tidur dalam situasi seperti ini?
Pukul 02.05 dini hari…. Suasana masih mencekam seperti dua jam yang lalu. Aku tak melihat ayah, kemanakah beliau? Semenjak kami mendapat tempat untuk duduk, aku tak pernah melihatnya. Akupun bertanya pada ibu: “bu, dimanakah ayah?” sambil menidurkan adik bungsuku ibu menjawab; “ayah lagi berjaga-jaga di rumah, takutnya ada penyerangan dan membakar rumah kita”.
Letak rumahku memang sangat strategis. Hanya dengan sekali lemparan bom dari arah penyerang bisa langsung hancur dan terbakar. Rumahku terletak diperbatasan antara kampung kami dengan kampung orang-orang yang menyerang kami. Mengingat ayah yang berjaga disana, hatiku perih dan sedetik kemudian setetes air mataku jatuh. Aku kangen ayah…..!
Adik bungsuku telah tertidur lelap dipelukkan ibu, begitupun kedua adik lelaki dan perempuanku. Adik lelakiku tertidur lelap dipelukanku dan adik perempuanku terlelap dipelukan kakakku. Aku melihat mereka dan sedetik kemudian setetes air mataku pun jatuh. Oh….apa yang terjadi pada kami?
Pukul 03.50 dini hari. Saatnya untuk sahur. Tuan rumah menyediakan makanan untuk sahur tapi tentu saja tidak cukup untuk seluruh pengungsi yang ada di rumah itu, jadi makanan itu dibagi secukupnya yang penting bisa mengganjal perut kami untuk berpuasa esok hari. Untuk bayi, tuan rumah menyediakan bubur, aku melihat adik bungsuku memakan bubur tersebut dengan lahapnya, matanya bersinar gembira. Adik yang belum mempunyai nama itu tak tahu bahwa senyumnya itu bisa saja menjadi senyumannya yang terakhir. sedetik kemudian setetes air mataku pun jatuh lagi. Ya Allah…. Lindungilah kami…..!!!
Pukul 05.00…. adzan berkumandang, tanda shalat subuh akan dilaksanakan. Sesekali masih terdengan bunyi rentetan senjata dan ledakan bom tapi tidak seramai semalam. Aku melihat suasana di rumah pengungsian ini mulai ramai, entah apa yang sedang dipersiapkan. “mungkin mereka sedang bersiap-siap untuk melaksanakan shalat di Masjid yang kebetulan hanya berjarak 100 meter dari rumah pengungsian ini” aku berkata dalam hati. “tapi kenapa mereka mempersiapkan kalewa?” hatiku yang lain bertanya.
Beberapa orang mulai mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat subuh, dan beberapa lainnya menunggu gilirannya. Setelah melaksanakan shalat subuh, mereka berdoa dengan khusyuknya. Aku merinding melihatnya. Dalam situasi seperti ini, kematian seakan-akan di depan mata sehingga menjadikan shalat subuh ini seolah-olah merupakan shalat yang terakhir. Begitu khusyuknya.
Pukul 05.30…. situasi semakin mencekam. “Apa yang akan terjadi?” hatiku bertanya lagi. Aku melihat ada beberapa orang telah menyiapkan dirinya, memakai ikat kepala berwarna putih bertuliskan Allahu Akbar, memegang kalewa yang telah terasah setajam-tajamnya, dan menggunakan pakaiannya yang paling bersih. Situasi rumah ini semakin ramai dan ribut. Setelah menyiapkan dirinya, mereka pun bergegas keluar. Entah kemana???.

Pukul 06.00. tak ada seorang pun di dalam rumah itu yang tidur, semua tegang, karena situasi seperti semalam terjadi lagi, bahkan lebih dahsyat. Tembakan dengan ledakan bom saling mengejek, lantunan Allahu Akbar berkobar dimana-mana. Aku berlari keluar…. Merah…langit menjadi merah…. Kebakaran dimana-mana… bau asap menusuk hidung dan membuat mata menjadi perih. Dan akupun tahu bahwa saat ini, orang-orang yang semalam terlihat sedang bersiap-siap itu sedang melakukan serangan balik…SERANGAN FAJAR.

By: Athie Imoet


0 komentar:

Design Dheedy_AS Dzelque Blogger Templates 2007-2008