27 Januari 2008

Seni Sebagai fokus budaya

I

Penempatan unsur seni sebagai fokus budaya bisa dipahami, baik dalam pengertian negatif maupun positif. Dalam pengertian negatif, seni memang merupakan unsur penting, sekaligus isi kebudayaan, tetapi bukan harus diartikan yang paling penting di antara ketujuh unsur penting lainnya seperti telah disebut di atas. Anggapan sebagian banyak orang yang memandang bahwa seni adalah sama dengan budaya, atau kesenian adalah sama dengan kebudayaan, baik sadar maupun tidak sadar mereka telah mereduksi atau mengecilkan makna kebudayaan. Bahkan ada yang beranggapan bahwa jika orang telah ‘tahu’ atau berprofesi sebagai salah satu jenis kesenian tertentu, serta merta orang tersebut lalu disebut ‘budayawan’. Ironinya media massa sering ikut melegitimasikan demikian terhadap seniman-seniman tertentu yang dipandang telah kondang. Ini jelas merugikan, baik orang yang bersangkutan maupun eksistensi kebudayaan.
Pengertian positif, baik Ernst Cassirer, salah seorang filsuf kebudayaan terbesar abad ke-20, maupun Clifford Geertz, salah seorang antropolog kenamaan, keduanya, mempermasalahkan hubungan antara manusia dan kebudayaan. Keduanya memandang manusia merupakan esensi dalam kebudayaan. Cassirer meletakkan kebudayaan sebagai usaha manusiawi untuk memahami diri sendiri dan mengatasi persoalan-persoalan melalui kreasi akal-budi dan penggunaan simbol-simbol. Bentuk-bentuk simbolis yang penting dari kehidupan manusia mendapat tekanan utama, salah satu di antaranya yang dianggap penting ialah seni. Sedangkan menurut Geertz, untuk mendekati peristiwa sosial, perlulah seorang ilmuwan tidak sekadar mencari hubungan sebab-akibat, melainkan berupaya memahami makna yang dihayati dalam sebuah kebudayaan. Kebudayaan, masih menurut Geertz, adalah anyaman makna-makna, dan manusia adalah binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna itu. Maka, kebudayaan bersifat semiotik dan kontekstual. Pendek kata, manusia, kemanusiaan, memanusiakan manusia secara manusiawi, humanitas, merupakan tema-tema yang biasa dijadikan fokus garapan dalam berkesenian.


II
Dalam kesempatan ini saya memilih Seni Teater sebagai Seni Pertunjukan, salah satu jenis kesenian, untuk dijadikan fokus bahasan dalam perspektif sosial budaya.
Seni Teater (terdapat hampir di seluruh daerah wilayah Indonesia) merupakan jenis seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kompleks, rumit, dan sangat akrab dengan publiknya, yaitu ‘masyarakat seni teater’ sebagai seni pertunjukan. Termasuk di dalamnya: pencipta seni, para pekerja seni, karya seninya itu sendiri, manager, kelompok (group) seni, pengayom atau maesenas seni (lembaga pemerintah atau non-pemerintah), alam semesta dan lingkungan seni (poleksosbud hankam, iptek, seni, dan pariwisata) yang bisa dijadikan bahan atau sumber inspirasi bagi para seniman untuk melakukan proses kreatif seni, lembaga sekolah atau kampus (baik formal maupun non-formal), sanggar, kelompok, paguyuban, penikmat, pemerhati, kritikus seni atau peneliti seni, pelatih atau pengajar seni, baik guru, dosen, maupun empu seni, dan jangan lupa para penonton karya seni (baik para pecandu seni maupun yang awam seni sekali pun). Baik menggunakan sarana visual, auditif, audiovisual, dan sebagainya. Baik melalui media panggung pementasan atau pergelaran, media cetak, elektronik, audiovisual atau teve, maupun komputer. Khusus penonton, menurut hemat saya bukan sekadar berkedudukan sebagai faktor penunjang, melainkan merupakan komponen atau unsur bagi setiap seni pertunjukan. Tanpa penonton, penyebutan istilah ‘seni pertunjukan’ menjadi aneh, sebab lalu dipertunjukkan atau dipertontonkan kepada siapa? Itulah sebabnya, pengkajian atau penelitian terhadap motivasi, psikologi, sikap atau perilaku para penonton menjadi penting artinya. Juga buat para pejabat atau penguasa yang sering kurang ramah, bahkan mengecilkan arti terhadap tontonan dan penonton, sehingga mengambil ‘jalan pintas’ sebaiknya melarang saja suatu seni pertunjukan yang dikhawatirkan bisa menimbulkan ‘anarkis’.
Seni Teater sebagai Seni Pertunjukan merupakan lembaga sosial, dokumentasi sosial, cermin sosial, moral sosial, eksperimen sosial, sistem, sosial, sistem semiotik, baik semiotik sosial maupun semiotik budaya yang amat kaya akan nuansa makna yang terkandung dalam tanda-tanda yang terbangun oleh Seni Pertunjukan, baik tanda-tanda ikonik, indeksikal, maupun tanda-tanda simbolis.
Dalam proses dramaturgi, sebagai sebuah proses teater, seni teater sebagai seni pertunjukan merupakan tempat pertemuan, kolaborasi hampir seluruh cabang seni dan seniman di dalamnya (bahkan termasuk non-seni dan non-seniman sekali pun), untuk mewujudkan sebuah karya seni yang bulat utuh, ansambel, dan harmonis. Dalam kondisi demikian, seni teater sebagai seni kolektif, bisa memupuk sikap kerja sama, gotong royong, solidaritas, toleransi atau tenggang rasa, dan demokrasi. Maka, proses penciptaan dan proses pengkajian seni teater sebagai seni pertunjukan untuk bisa menghayati dan memahami kandungan maknanya bersifat hirarkis, berkesinambungan, berkelanjutan secara timbal-balik (formula dramaturgi). Untuk itu diperlukan kecermatan, kehati-hatian, dan nyali yang tinggi, bersifat multi dan atau interdisipliner, lintas dan silang budaya – budaya lokal – nasional – regional – global, dan begitu sebaliknya.

III
Dalam kaitannya dengan konteks budaya, karya seni, termasuk seni teater, sejak awal kehadirannya tidak dalam keadaan kosong. Artinya, kondisi sosial budaya sangat berpengaruh terhadap karakteristik seni. Sosial budaya Indonesia yang multi etnik, multi kultur, multi dimensi, menjadikan seni teater di Indonesia tidak steril dari pengaruh kondisi lokal – global.
Seperti halnya terhadap bidang-bidang ilmu dan cabang-cabang seni lainnya, seni sastra jenis seni drama dan atau teater sering dipertanyakan sebagai ilmu atau sebagai seni? Jawabnya tentu kedua-duanya, yaitu sebagai ilmu dan sebagai seni. Sebagai ilmu, seni teater dapat dikaji dan diteliti seperti ilmu-ilmu lainnya dengan menggunakan metode dan konvensi, kaidah, atau teori tertentu yang relevan dengan objek kajiannya. Sebagai seni, seni teater bisa dihayati dan dipahami seperti seni-seni yang lain yang bersifat verstehen, artinya lebih menekankan pada pemahaman daripada pengertian. Ada tiga konvensi yang harus digunakan untuk memahami setiap karya seni, termasuk seni teater, yaitu konvensi ‘bahasa’ (gramatika seni), konvensi seninya itu sendiri, dan konvensi budaya yang melingkupinya dimana karya seni itu berada.
Karena budaya Indonesia adalah multi etnik, multi kultur, dan pluralis, maka seni teater di Indonesia juga bersifat demikian. Betapa pun setiap daerah di Indonesia ada jenis seni teaternya sendiri (teater daerah atau teater tradisional), misalnya lenong di Betawi – Jakarta, kethoprak di Jawa Tengah dan Jawa Timur, wayang di Jawa dan Bali, lodrug di Jawa Timur, randai di Padang, makyong di Riau; bahkan seni pewayangan atau seni pedalangan di beberapa daerah di Indonesia dan di luar Indonesia misalnya Kelantan, India, Thailand, atau Cina, memiliki karakteristiknya masing-masing sesuai dengan budaya tempat seni pewayangan atau seni pedalangan itu berada, tumbuh dan berkembang. Hegemoni konvensi Barat terhadap seni tidak bisa dipungkiri, hal yang juga berlaku atau terjadi buat bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain di Indonesia. Namun, dalam proses penjadian, tumbuh, dan perkembangannya, seni (dalam hal ini seni teater), warna lokal telah ‘bercampur’ atau ‘lebur’ dengan warna lokal yang lain dan warna global, dengan berbagai teknik garap dan gaya masing-masing telah mewarnai karya-karya seni di Indonesia, tidak terkecuali seni teater. Bahkan, menurut hemat saya, karena sifatnya yang kolektif, kolaboratif, kompleks, tetapi ansambel dan harmonis, menjadikan seni teater di Indonesia sangat potensial punya warna lokal – global. Dengan kata lain, seni teater sangat potensial untuk dijadikan wahana pemersatu budaya bangsa dan budaya antar-bangsa. Yang pada gilirannya sangat berpotensi sebagai wahana pemersatu bangsa dan antar-bangsa. Melalui pergelaran bersama kesenian yang kolaboratif seperti seni teater, diharapkan kita, bangsa Indonesia, bisa terhindar dari konflik antar-etnik, antar-kultural, antar-suku, antar-daerah, dan ujung-ujungnya diharapkan bisa terhindar dari potensi timbulnya disintegrasi antar-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Terhindar dari disintegrasi bangsa Indonesia.
IV
Dalam pandangan Sosiologi Seni dan Psikologi Seni, karya seni (dalam hal ini seni teater), diyakini banyak bergantung atau berkolerasi dengan faktor-faktor psiko-sosial dan kultural yang melingkupinya. Faktor-faktor psiko-sosio-kultural yang melingkupi tersebut meliputi psiko-sosio-kultural pencipta seni (psiko-sosio-kultural seni), psiko-sosio-kultural karya seninya itu sendiri (psiko-sosio-kultural seniman), dan psiko-sosio-kultural audience atau publiknya (psiko-sosio-kultural audience atau publik), termasuk para pejabat pemerintahan, para politisi, para penyelenggara kesenian (baik lembaga, kelompok, sanggar, atau perorangan).
Begitu kompleks dan kolaboratifnya seni teater, sejak masih dalam ide, gagasan atau angan-angan, proses penciptaan, garapan, dan proses penjadian dan penyajiannya, seni bukan hanya merupakan fokus sosiologi seni dan psikologi seni, tetapi juga fokus budaya dalam pengertian tidak sempit.
Melihat realita demikian, dengan mengambil contoh proses teater sebagai seni pertunjukan yang bersifat kolektif, kolaboratif, dan komunikatif dengan publiknya, kita bisa menyusun paradigma baru sebagai alternatif dalam menyusun konsep dan strategi kebudayaan (di) Indonesia yang multi etnik, multi kultur, dan pluralis ini sehingga terhindar dari potensi disintegrasi bangsa.


Oleh: Soediro Satoto

0 komentar:

Design Dheedy_AS Dzelque Blogger Templates 2007-2008