27 Mei 2008

anak negri

Sesungguhnya aku bukanlah anak yang lahir dari rahim seorang moluccas. Ayah dan ibuku sendiri berdarah sulawesi. Tapi ayahku lahir di Saparua, nama salah satu daerah di kepulauan Maluku. Kakekku (ayah dari ayahku) dulu adalah pejuang di Maluku dan kemudian menikah dan melahirkan anak-anaknya di Maluku. Ayahku bahkan tak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Sulawesi. Ayah dan ibu bertemu di Masohi (kota kabupaten Maluku Tengah), kemudian menikah dan lahirlah kami, lima bersaudara di kota ini.


Tak ada nama marga (fam yang menunjukkan kelurga besar orang maluku yang yang disematkan di belakang nama setiap anaknya secara turun temurun) di belakang namaku. Namaku singkat, Murniaty, itu saja. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa aku anak Maluku.
Satu-satunya identitas yang menunjukkan bahwa aku anak maluku adalah bahwa aku tahu tentang maluku baik bahasa, budaya, makanan, dan negerinya. Bagaimana tidak, aku lahir, besar dan menuntut ilmu disana.
Sejak kecil kami akrab dengan budaya maluku. Ayah dan ibuku bahkan tak pernah menggunakan bahasa sulawesi kepada kami. Bahasa komunikasi yang kami gunakan adalah bahasa maluku. Di setiap sekolah kami diperkenalkan tentang maluku dalam mata pelajaran budaya daerah. Semua tarian maluku mulai dari tari lenso sampai cakalele, makanan khas daerah mulai dari papeda sampai bagea, nyanyian-nyanyian merdu maluku, budaya sasi, pela-gandong, bambu gila, sampai pukul manyapu telah kami pelajari, kuasai bahkan sebagian telah dipraktekan. Hanya satu yang aku tak punya, MARGA. Itulah yang membuat aku tak pernah menjadi anak maluku seutuhnya. Walaupun jiwa dan ragaku telah ku persembahkan untuk maluku, tetap saja aku adalah anak pendatang, bukan anak negeri.
Dengan bertitel “bukan anak negeri”, menjadikan urusan yang berkaitan dengan pemerintah daerah menjadi sulit. Pernah, kakakku mengajukan sebuah permohonan beasiswa S2 kepada pemerintah daerah. Beasiswa itu tak pernah dikabulkan sampai kini kakakku telah menyelesaikan study S2-nya dengan biaya 100% dari gaji ayahku yang seorang PNS golongan III.
Kini, setelah aku menyelesaikan study S1-ku dan ingin melanjutkannya ke jenjang S2, ayahku yang cuma PNS golongan III sudah tidak mampu membiayai. Dan tentu saja, aku juga tak bisa mengemis kepada pemerintah daerah maluku untuk memberiku beasiswa karena aku bukan anak negeri. Lebih-lebih kepada pemerintah daerah sulawesi tenggara (daerah asal ayah dan ibuku), sungguh tak mungkin karena aku tidak tercatat dalam daftar penduduk sana.
Saat aku pusing dengan biaya sekolah, saat niat dan cita-cita ingin sekali melanjutkan pendidikan, saat harapan ingin kembali ke maluku untuk membangun potensi yang ada setelah bertitel Master Sains. Saat itulah, disudut barat pulau seram, pemerintah daerah telah mengirim anak-anak negerinya untuk mempelajari ilmu kedokteran di salah satu universitas di luar maluku dengan biaya pemerintah. saat itulah, anak-anak dari para pemimpin departemen, anak-anak para kepala dinas, anak-anak para PNS bergaji besar yang dibiayai pemerintah itu berkata “ aku tidak ingin kuliah, kuliahnya susah ”. dan saat itulah maka kamu akan menemukan mereka bertebaran di mall-mall sedang membeli pakaian seharga uang SPP-ku waktu S1, mereka bernyanyi ria di taman-taman bernyanyi, bermain billiard, makan di restorant ternama dan tertawa terbahak-bahak dimana saja mereka mau. Mereka adalah anak negeri. Dan aku……aku bukan siapa-siapa…..aku bukan anak negeri….!!!!

By: Athie Imoet

0 komentar:

Design Dheedy_AS Dzelque Blogger Templates 2007-2008